Sabtu, 29 Desember 2012

Bagaimana tumbuhan mengenali perubahan musim?



     Tumbuhan mengenali perubahan musim dengan menyesuaikan dirinya pada perubahan lingkungan yang berubah dengan menunjukkan beberapa perilaku yang bisa membuatnya bertahan hidup pada musim yang berbeda. Tanaman memiliki berbagai cara adaptasi untuk bertahan hidup dalam lingkungan dan musim yang bervariasi. Sebagai contohnya tumbuhan jati menggugurkan daunnya ketika musim kemarau untuk mengurangi penguapan.  

PereSelain itu tanaman menunjukkan respon fenologis beragam dalam menanggapi adanya perubahan musim. Respon tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe :

1). Aktivitas reproduktif dimulai pada awal musim hujan bersamaan dengan aktivitas vegetatif, contoh : Bauhinia spp., Acacia farmsiana, Caesalpinia spp., Cassia spp.
2). Aktivitas reproduktif dilakukan pada awal musim kemarau setelah fase vegetatif terbentuk pada musim hujan, sebagai contoh adalah adalah Acacia spp., Calliandra portoricensis, Parkia javanica, Saracca spp. Tanaman umumnya menggugurkan daun pada musim kemarau untuk memperkecil penguapan air.
3). Aktivitas reproduktif dan vegetatif berlangsung secara simultan sepanjang tahun, bila kondisi air optimum, misalnya, Brownea hybrida, Caesalpinia ptdcherrima var.luteis, Calliandra surinamensis, Dichrostachys cinerea dan Erythrina crista-galli.

Variasi respon berbunga dan berbuah ini dapat menggambarkan adanya mekanisme dan adaptasi pada tanaman ini terhadap kondisi lokal untuk meningkatkan keberhasilan fase reproduktif (Primack, 1980). Aktivitas reproduktif yang ritmik tersebut dapat mengalami perubahan bila terjadi perubahan panjang musim kemarau. Frekuensi tanaman yang berbunga dan berbuah sepanjang tahun menurun seiring dengan intensitas kekeringan yang terjadi. Dibandingkan dengan fase pembungaan, fase pembuahan menunjukkan respon yang lebih besar terhadap induksi hydroperiodik ini. Meskipun pada umumnya buah bisa dijumpai sepanjang tahun, namun pembuahan lebih dominan terdapat pada musim kemarau. Curah hujan yang besar dapat menurunkan tingkat keberhasilan penyerbukan dan perkembangan buah. Panjang fase reproduktif juga sangat dipengaruhi oleh jumlah bulan kering. Curah hujan yang tinggi cenderung meningkatkan panjang periode pembungaan dan pembuahan. Curah hujan yang cukup tinggi nampaknya telah meningkatkan ketersediaan air untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman.


Jumat, 28 Desember 2012

Rooftop prince

Bagi para pecinta drama korea, ni recomended banget buat dilihat. Bagi yang sudah melihat, yuk lihat lagi




 Ceritanya itu tentang raja Joseon beserta ketiga bawahannya yang menembus ruang dan waktu menuju ke Korea yang modern. Lucu banget pokoke lah.  

Sebuah Kekeliruan

           Moral bangsa dipertarukan karena kelakuan dari para generasi bangsa yang tidak beretika. Anak muda adalah generasi bangsa yang seharusnya memperbaiki diri untuk bangsanya. Namun, kenyataannya anak muda sekarang sudah jauh berbeda, IPTEK yang berkrmbang dengan sangat pesat ternyata membawa dampak negatif juga bagi penerus bangsa, rasa ingin tau yang terlalu besar sering kali membuat mereka membuka situs-situs yang tak seharusnya. Miris memang melihat kondisi anak bangsa sekarang ini, lihat saja cara berpakaian mereka yang sungguh membuat mata tidak nyaman. Mol - mol besar selalu menyuguhkan remaja - remaja yang berpakaian sangat minim. Aku saja yang melihat malu sendiri tapi mereka yang memakai justru tidak malu, dengan bangga dan percaya dirinya mereka mengumbar auratnya...hmhmh...akhir jaman. Mungkin mereka berpikir kalau semakin terbuka itu semakin cantik, tapi menurutku cantik itu bukan auratnya yang kelihatan tapi auranya yang kelihatan.
        Selain gaya busana yang sudah tak karuan,  gaya berpacaran yang sudah tak wajar. Sekarang ini banyak remaja yang tidak segan untuk berpelukan, berciuman di depan umum. Banyak sekali cerita - cerita penggrebekan sepasang muda - mudi yang terpergok berbuat zina baik di kos, di hotel, dirumahnya sendiri bahkan dirumah kosong yang berhantu.   hoho..kok serem. Lalu kenapa di rumah kosong berhantu?karena mereka lebih takut kepada menusia dari pada hantu, lebih takut dilihat manusia dari pada hantu...hahaha...Padahal dimanapun kaki berinjak akan tetap diawasi oleh Allah Yang Maha Melihat. Selain itu tak sedikit ABG yang mengupload dirinya sendiri tanpa busana. Aku berpikir '' ni anak kurang kerjaan banget, ga punya PR apa sampe ngupload gambar kaya gitu".
         Masalah lainya adalah tawuran antar pelajar yag banyak terjadi. Pemicu masalahnya pun paling cuma rebutan cewek..hmhmhm...kurang kerjaan banget. Sebenarnya apa yang ada di pikiran pelajar sekarang ini. Di kelas terlihat manis dan pintar, setelah keluar kelas menjelma menjadi preman. Menurutku di bangku sekolah itu harus ditambah lagi satu mata pelajaran yaitu tentang kepribadian dan mapel itu dijadikan salah satu mapel ujian nasional. Jadi pelajar tidak hanya pintar secara akademik, tapi juga kepribadiannya baik. Sebagai sesama generasi bangsa aku bisa berdoa semoga mereka yang berada di jalur gelap segera menemukan cahayanya. Dan aku bisa terus memperbaiki diri agar tidak  merugikan tumpah darahku. Amin.

Rabu, 15 Juni 2011

METAMORFOSIS PADA INSECTA


METAMORFOSIS PADA INSECTA      
            Metamorfosis biasanya terjadi pada fase berbeda-beda. Dimulai dari larva atau nimfa, kadang-kadang melewati fase pupa, dan berakhir sebagai spesies dewasa / imago . Ada dua macam metamorfosis utama pada serangga, hemimetabolisme (TNI) dan holometabolisme (TLPI). Fase spesies yang belum dewasa pada metamorfosis biasanya disebut larva. Pada metamorfosis kompleks / sempurna pada kebanyakan spesies serangga, setelah telur menetas fase pertamanya kita sebut larva dan jika tidak sempurna setelah telur disebut Nympa (kehidupan yang habis menetas namun performa bentuknya seperti dewasa hanya berkuran kecil )
            Pada hemimetabolisme, perkembangan larva berlangsung pada fase pertumbuhan berulang dan ekdisis (pergantian kulit), fase ini disebut instar. Hemimetabolisme juga dikenal dengan metamorfosis tidak sempurna. Pada metamorfosis tidak sempurna, serangga mengalami perubahan bentuk dari telur hingga dewasa yang tidak mencolok dalam daur hidupnya. Bentuk larva atau bentuk pradewasanya disebut nimfa. Nimfa memiliki kemiripan dengan bentuk dewasa (imago), kecuali organ reproduksi dan sayap. Organ reproduksi dan sayap pada nimfa belum berkembang. Baru setelah berubah menjadi serangga dewasa. organ reproduksi berkembang dan serangga dapat bereproduksi. Pada metamorfosis tidal sempurna tidak terbentuk tahap pupa. Pada metamorfosis tidak sempurna. Perubahan bentuk yaang terjadi adalah sebagai berikut;
Telur – nimfa – imago (dewasa). –
Contoh serangga yang mengalami metamorfosis tidak sempurna antara lain belalang, lipas (kecoa), dan jangkrik.
            Pada holometabolisme, larva sangat berbeda dengan dewasanya. Serangga yang melakukan holometabolisme melalui fase larva, kemudian memasuki fase tidak aktif yang disebut pupa, atau chrysalis, dan akhirnya menjadi dewasa. Holometabolisme juga dikenal dengan metamorfosis sempurna. Sementara di dalam pupa, serangga akan mengeluarkan cairan pencernaan, untuk menghancurkan tubuh larva, menyisakan sebagian sel saja. Sebagian sel itu kemudian akan tumbuh menjadi dewasa menggunakan nutrisi dari hancuran tubuh larva. Larva umumnya mengalami molting empat kali sehingga terbentuk larva stadium satu hingga larva stadium empat Pada tahap larva, umumnya serangga sangat aktif makan. Cobalah perhatikan tahap larva pada kupu-kups yaitu ulat, yang sangat aktif memakan daun. Larva stadium empat berubah menjadi tahap pupa. Pada tahap pupa, serangga tidak aktif makan (periode puasa), tetapi proses metabolisme tetap terus berlangsung. Setelah mengalami pertumbuhan dan pembelahan sel, diferensiasi dan organogenesis, maka pupa akan berubah menjadi serangga dewasa (imago). Selama metamorfosis, terjadi pengulangan proses seperti halnya pada pertumbuhan dari perkembangan embrionik hingga akhirnya larva berubah menjadi bentuk dewasa. Contoh serangga yang mengalami metamodosis sempuma antara lain kupu-kupu , lalat, nyamuk, lebah, dan kumbang.
            Proses kematian sel disebut histolisis, dan pertumbuhan sel lagi disebut histogenesis. Lama serangga menghabiskan waktunya pada fase dewasa atau pada fase remajanya tergantung pada spesies serangga itu. Misalnya mayfly dari ordo Ephemeroptera yang hanya hidup pada fase dewasa hanya satu hari dan cicadas, yang fase remajanya/nimpa bisa hidup di bawah tanah selama 13 hingga 17 tahun. Kedua spesies ini melakukan metamorfosis tidak sempurna.
A.    Proses molting pada metamorphosis serangga
            Molting atau sebut saja “pergantian kulit” adalah suatu proses yang kompleks dan dikendalikan oleh hormon-hormon tertentu dalam tubuh serangga. Molting meliputi  lapisan kutikula dinding tubuh, lapisan kutikula trakea, foregut, hindgut, dan struktur endoskeleton (McGavin 2001; Triplehorn & Johnson, 2005). Molting dapat terjadi sampai tiga atau empat kali, bahkan pada beberapa serangga tertentu, molting dapat terjadi sampai lima puluh kali atau lebih selama hidupnya (McGavin, 2001).
            Serangga, termasuk arthropda lainnya (kalajengking, udang, lobster, dan lain-lain), memiliki kerangka luar yang disebut dengan eksoskeleton. Dalam pertumbuhannya, serangga akan tiba pada titik dimana otot-otot tubuhnya tidak cukup kuat untuk mengangkat massa eksoskeletonnya. Exoskeleton ini menutupi sekeliling tubuhnya, tetapi tidak dapat tumbuh. Jadi, tubuh serangga mengalami pertumbuhan (penambahan volume dan massa) tetapi eksoskeletonnya tetap pada konstruksinya atau tidak mengalami pertumbuhan. Akibatnya, serangga harus melakukan molting beberapa kali selama hidupnya agar tetap eksis dan “survive” atau bertahan hidup untuk meneruskan generasinya, suatu bentuk adapatasi yang tidak hanya rumit tetapi juga sungguh luar biasa dan mengagumkan.
            Proses molting pada serangga, setidaknya, melewati tiga tahap, yaitu apolysis, ecdysis, dan sklerotinisasi. Ketiga tahap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut
  1. Apolysis yaitu Pelepasan kutikula lama. Pada tahap ini, hormon molting dilepaskan ke dalam haemolymph dan kutikula lama terpisah dari sel epidermis yang berada di bawahnya. Ukuran epidermis akan meningkat karena mitosis dan kemudian kutikula baru dihasilkan. Enzim yang disekresikan oleh sel epidermis mencerna endokutikula lama.
  2. Ecdysis yaitu Pembentukan kutikula baru. Tahap ini dimulai dengan pemisahan kutikula lama, biasanya dimulai pada garis tengah sisi dorsal thoraks. Pemisahan terjadi,terutama, karena tekanan haemolymph yang dipaksa masuk menuju thoraks oleh kontraksi otot abdomen yang disebabkan karena serangga menerima udara atau air. Setelah ini, serangga akan  keluar dari kutikula lama.
3.        Sclerotinisasi yaitu Pengerasan kutikula baru. Kutikula baru yang baru terbentuk, sangat lembut dan pucat sehingga ini merupakan saat yang sangat rentan bagi serangga. Dengan demikian, serangga harus melakukan pengerasan (hardening) terhadap kutikula baru tersebut. Sklerotinisasi terjadi setelah satu atau dua jam, dimana eksokutikula akan mengeras dan menjadi gelap. Pada serangga dewasa, sayap akan berkembang karena kekuatan haemolymph yang masuk melalui vena sayap (McGavin, 2001; Triplehorn & Johnson,2005).
            Pertumbuhan dan perkembangan serangga diselingi oleh periode molting yang diatur oleh steroid 20-hydroxyecdysone (20HE, hormon molting, ecdysterone) dan JH sesquiterpenoid (Klowden, 2007). Pada tahap dewasa, kedua hormon ini juga terlibat dalam pengaturan pematangan reproduksi (Dhadialla et al., 1997).
            Yang mempengaruhi proses molting serangga adalah “hormon”. Hormon adalah sinyal kimia (chemical signals) atau pembawa pesan kimia (chemical messenger) yang dikirim dari sel dalam bagian tubuh tertentu ke sel-sel dalam bagian tubuh lainnya pada individu organisme yang sama.
            Ketika serangga, pada pertumbuhannya, tiba waktunya untuk mendapatkan eksoskeleton yang baru, input sensorik dari tubuh serangga mengaktifkan sel-sel saraf (neurosecretory cells)  tertentu dalam otak. Sel saraf ini menanggapinya dengan mengeluarkan hormon otak yang memicu corpora cardiaca untuk melepaskan prothoracicotropic hormone (PTTH) ke dalam sistem peredaran darah. PTTH selanjutnya merangsang kelenjar prothoracic (prothoracic glands) untuk mengeluarkan hormone molting, yaitu ecdysteroids atau 20-hydroxyecdysone steroids (Meyer, 2005). Dari sinilah proses molting mulai berlangsung, diawali dengan peningkatan titer 20HE dan diakhiri dengan penurunan titer 20HE dan pelepasan hormon eclosion (Klowden, 2007).
            Molting pada serangga diatur oleh hormone molting, 20-hydroxyecdysone steroids (ecdysterone atau ecdysteroids, selanjutnya disingkat dengan 20HE), JH-sesquiterpenoid, hormon eclosion, dan hormon bursicon (Klowden, 2007).
            Peningkatan titter 20HE mengakibatkan epidermis terpisah dari kutikula lama (apolysis) sehingga menciptakan ruangan antara kutikula dan epidermis (ruang eksuvial), selanjutnya ruang exuvial diisi oleh cairan molting yang mengandung enzim inaktif, chitinolytic (chitinase dan protease), yang mampu mencerna kutikula lama begitu teraktivasi (Klowden, 2007). Sementara itu, sel-sel epidermis terorganisir kembali untuk sintesis sejumlah besar protein serta sekresi epikutikula dan kutikula baru. Setelah titer 20HE mulai menurun, enzim dalam cairan molting diaktifkan untuk memulai proses pencernaan prokutikula (endokutikula yang tidak tersklerotisasi). Setelah proses ini selesai, cairan molting diserap kembali dan pengerasan pra-ecdysial kutikula baru berlangsung (Reynolds, 1987). Akhirnya, saat titer 20HE menurun ke tingkat basal, kutikula lama terlepas (ecdysis) dengan diawali pelepasan crustacean cardioaktive peptide (CCAP), hormon eclosion, dan ecdysis-triggering hormone, yang bersama-sama bekerja pada sejumlah target didalam memastikan selesainya proses molting (Klowden, 2007). Hormon Eclosion (EH) memulai pelepasan CCAP dari sel-sel ventral ganglion yang menonaktifkan perilaku pre-ecdysis dan bersama-sama dengan EH mengaktifkan perilaku ecdysis. CCAP bertanggung jawab sebagai motor pemicu dalam menyelesaikan ecdysis. EH juga terlibat bersama hormone bursicon untuk pengerasan kutikula (Klowden, 2007). 
                                             
Hormone yang berperan dalam proses metamorfosis
            Pada Arthropoda dari kelompok insekta menghasilkan tiga macam hormon yaitu: hormon otak, hormon ekdison, dan hormon juvenil. Ketiga hormon tersebut berfungsi untuk  mengatur proses metamorfosis.
  • Hormon otak disekresikan oleh bagian otak, dan pelepasannya dipengaruhi oleh faktor makanan, cahaya, atau suhu. Selain itu hormon otak berfungsi memicu sekresi hormon ekdison dan hormon juvenil.
  • Hormon ekdison perfungsi pada pengaturan proses pergantian kulit (ekdisis).
  • Hormon juvenil berperan menghambat proses metamorfosis.
            Salah satu hormone yang berperan pada proses metamorphosis serangga adalah juvenile, beberapa fungsi juvenile dalam proses tersebut yaitu:
·      JH dihasilkan oleh Corpora allata, pasangan organ neurohemal lainnya, terletak tepat di belakang corpora cardiac dalam system endokrin serangga. 
  • JH menghambat perkembangan karakteristik dewasa selama fase pradewasa dan mendorong kematangan seksual selama fase dewasa (Meyer, 2005; Klowden, 2007).
  • JH dihasilkan selama instar larva atau nimfa, dimana pada molting larva→larva (serangga holometabola) JH menghambat perkembangan larva menuju pupa, pada molting nimfa→nimfa (serangga hemimetabola) dihasilkan untuk menghambat gen-gen yang mempromosikan perkembangan karakteristik dewasa, misalnya, sayap, organ reproduksi, dan alat kelamin eksternal, sehingga  menyebabkan serangga untuk tetap "immature" (dalam nimfa atau larva). 
  • Saat menjelang dewasa (nimfa) dan menjelang pupasi (larva) JH semakin menurun dan menjadi tidak ada atau tidak aktif saat nimfa menjadi dewasa dan larva menjadi pupa. 
  • JH akan diaktifkan atau dihasilkan kembali saat serangga memasuki kematangan seksual atau siap untuk reproduksi.
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam molting, JH berperan sebagai pengontrol perkembangan serangga dari pradewasa (immature) menuju dewasa (adult) melalui pengaturan konsentrasinya yang sesuai.

            B. Regulasi Endokrin Pada Molting Serangga

            Proses molting diawali dengan peningkatan titer 20HE dan diakhiri dengan penurunan titer 20HE dan pelepasan hormon eclosion (Klowden, 2007). Peningkatan titter 20HE mengakibatkan epidermis terpisah dari kutikula lama (dikenal dengan apolysis) sehingga menciptakan ruangan antara kutikula dan epidermis (ruang eksuvial), selanjutnya ruang exuvial ruang diisi oleh cairan molting yang mengandung enzim inaktif, chitinolytic (chitinase dan protease) yang mampu mencerna kutikula lama begitu teraktivasi (Klowden, 2007). Sementara itu, sel-sel epidermis terorganisir kembali untuk sintesis sejumlah besar protein serta sekresi epikutikula dan kutikula baru. Setelah titer 20HE mulai menurun, enzim dalam cairan molting diaktifkan untuk memulai proses pencernaan prokutikula (unsclerotized endocuticle). Setelah proses ini selesai, cairan molting diresorpsi dan pengerasan pra-ecdysial kutikula baru berlangsung (Reynolds, 1987). Akhir dari proses, ketika titer 20HE menurun ke tingkat basal, kutikula lama terlepas (ecdysis) yang diawali dengan pelepasan crustacean cardioaktive peptide (CCAP), hormon eclosion dan ecdysis-triggering hormone, yang bersama-sama bertindak atas sejumlah target dalam memastikan selesainya proses molting (Hsu, 1991; Klowden, 2007). Hormon Eclosion (EH) menginisiasi pelepasan CCAP dari sel-sel ventral ganglion yang menonaktifkan perilaku pre-ecdysis dan bersama-sama dengan EH mengaktifkan perilaku ecdysis. CCAP bertanggung jawab sebagai motor pemicu dalam menyelesaikan ecdysis. EH juga terlibat dalam bursicon untuk pengerasan kutikula (Klowden, 2007). Setelah proses molting selesai, kegiatan makan dilanjutkan kembali dan deposisi endocuticular terus berlanjut selama periode intermolt (Dhadialla et al., 1997).

           
            Pertumbuhan dan perkembangan serangga diatur oleh 20HE, JH, EH, dan neurohormonnya lainnya (Klowden, 2007). Perubahan morfologi dan ultra-struktural yang terjadi pada epidermis selama pertumbuhan dan perkembangan serangga tergantung pada pengaturan ekspresi gen dengan titer yang berbeda dari 20HE dengan ada atau tanpa JH (Riddiford, 1996). Setiap gangguan dalam homeostasis dari satu atau lebih hormon ini dengan sumber eksogen dari hormon atau dengan analog sintetis (agonis atau antagonis) akan mengakibatkan gangguan atau pertumbuhan dan pengembangan yang abnormal pada serangga sasaran. Demikian pula, setiap gangguan pada hormon-hormon yang terlibat dalam sintesis dan/atau resorpsi kutikula akan merugikan kelangsungan hidup pada tahap perkembangan yang terpengaruh (Dhadialla et al., 1997)

Kesimpulan
  1. Serangga melakukan molting atau pergantian kulit karena penambahan ukuran atau volume tubuhnya tidak diikuti dengan pembesaran kutikula atau eksoskeleton yang menutupi tubuhnya.
  2. Molting dikendalikan oleh hormon-hormon tertentu dalam tubuh serangga, dan proses ini meliputi penggantian lapisan kutikula dinding tubuh, lapisan kutikula trakea, foregut, hindgut, dan struktur endoskeleton.
  3. Perubahan morfologi dan ultra-struktural yang terjadi pada epidermis selama pertumbuhan dan perkembangan serangga tergantung pada pengaturan ekspresi gen dengan titer yang berbeda dari 20HE dengan ada atau tanpa JH. Setiap gangguan dalam homeostasis terhadap produksi hormon-hormon ini akan mengakibatkan pertumbuhan atau perkembangan yang abnormal pada serangga sasaran. Demikian pula, setiap gangguan pada hormon-hormon yang terlibat dalam sintesis dan/atau resorpsi kutikula akan merugikan kelangsungan hidup pada tahap perkembangan yang terpengaruh.




REFERENSI:
  • Dhadiallla TS, Carlson GR, Le DP. 1997. New insecticides with Ecdysteroidal and Juvenile Hormone Actifity. Annu. Rev. Entomol. 1998. 43:545-69.
  • Klowden MJ. 2007. Physiological Systems in Insects. Second Edition. Academic Press, Elsevier. Burlington, 01803, USA. 688p.
  • Nijhout HF. 1994. Insect Hormones. Princeton, NJ: Princeton Univ. Press. 267 pp.
  • Reynolds SE. 1987. The cuticle, growth and moulting in insects: the essential background to the action of acylurea in¬secticides. Pestic. Sci. 20:131–46.
  • Riddiford LM. 1994. Cellular and molec¬ular actions of juvenile hormone I. Gen¬eral considerations and premetamorphic actions. Adv. Insect Physiol. 24:213–74.
  • Riddiford LM. 1996. Molecular aspects ofjuvenile hormone action in insect meta¬morphosis. In Metamorphosis, ed. LI Gilbert, pp. 223–51. London: Academic