METAMORFOSIS PADA INSECTA
Metamorfosis biasanya terjadi pada
fase berbeda-beda. Dimulai dari larva atau nimfa, kadang-kadang melewati fase
pupa, dan berakhir sebagai spesies dewasa / imago . Ada dua macam metamorfosis
utama pada serangga, hemimetabolisme (TNI) dan holometabolisme (TLPI). Fase
spesies yang belum dewasa pada metamorfosis biasanya disebut larva. Pada
metamorfosis kompleks / sempurna pada kebanyakan spesies serangga, setelah
telur menetas fase pertamanya kita sebut larva dan jika tidak sempurna setelah
telur disebut Nympa (kehidupan yang habis menetas namun performa bentuknya
seperti dewasa hanya berkuran kecil )
Pada hemimetabolisme, perkembangan
larva berlangsung pada fase pertumbuhan berulang dan ekdisis (pergantian
kulit), fase ini disebut instar. Hemimetabolisme juga dikenal dengan
metamorfosis tidak sempurna. Pada metamorfosis tidak sempurna, serangga
mengalami perubahan bentuk dari telur hingga dewasa yang tidak mencolok dalam
daur hidupnya. Bentuk larva atau bentuk pradewasanya disebut nimfa. Nimfa
memiliki kemiripan dengan bentuk dewasa (imago), kecuali organ reproduksi dan
sayap. Organ reproduksi dan sayap pada nimfa belum berkembang. Baru setelah
berubah menjadi serangga dewasa. organ reproduksi berkembang dan serangga dapat
bereproduksi. Pada metamorfosis tidal sempurna tidak terbentuk tahap pupa. Pada
metamorfosis tidak sempurna. Perubahan bentuk yaang terjadi adalah sebagai
berikut;
Telur – nimfa – imago (dewasa).
–
Contoh serangga yang mengalami
metamorfosis tidak sempurna antara lain belalang, lipas (kecoa), dan jangkrik.
Pada holometabolisme, larva sangat
berbeda dengan dewasanya. Serangga yang melakukan holometabolisme melalui fase
larva, kemudian memasuki fase tidak aktif yang disebut pupa, atau chrysalis,
dan akhirnya menjadi dewasa. Holometabolisme juga dikenal dengan metamorfosis
sempurna. Sementara di dalam pupa, serangga akan mengeluarkan cairan
pencernaan, untuk menghancurkan tubuh larva, menyisakan sebagian sel saja.
Sebagian sel itu kemudian akan tumbuh menjadi dewasa menggunakan nutrisi dari
hancuran tubuh larva. Larva umumnya mengalami molting empat
kali sehingga terbentuk larva stadium satu hingga larva stadium empat Pada
tahap larva, umumnya serangga sangat aktif makan. Cobalah perhatikan tahap
larva pada kupu-kups yaitu ulat, yang sangat aktif memakan daun. Larva stadium
empat berubah menjadi tahap pupa. Pada tahap pupa, serangga tidak aktif makan
(periode puasa), tetapi proses metabolisme tetap terus berlangsung. Setelah
mengalami pertumbuhan dan pembelahan sel, diferensiasi dan organogenesis, maka
pupa akan berubah menjadi serangga dewasa (imago). Selama metamorfosis, terjadi
pengulangan proses seperti halnya pada pertumbuhan dari perkembangan embrionik
hingga akhirnya larva berubah menjadi bentuk dewasa. Contoh serangga yang
mengalami metamodosis sempuma antara lain kupu-kupu , lalat, nyamuk, lebah, dan
kumbang.
Proses kematian sel disebut
histolisis, dan pertumbuhan sel lagi disebut histogenesis. Lama serangga
menghabiskan waktunya pada fase dewasa atau pada fase remajanya tergantung pada
spesies serangga itu. Misalnya mayfly dari ordo Ephemeroptera yang hanya hidup
pada fase dewasa hanya satu hari dan cicadas, yang fase remajanya/nimpa bisa
hidup di bawah tanah selama 13 hingga 17 tahun. Kedua spesies ini melakukan
metamorfosis tidak sempurna.
A. Proses
molting pada metamorphosis serangga
Molting atau sebut saja “pergantian kulit” adalah suatu proses yang kompleks dan dikendalikan oleh hormon-hormon tertentu dalam tubuh serangga. Molting meliputi lapisan kutikula dinding tubuh, lapisan kutikula trakea, foregut, hindgut, dan struktur endoskeleton (McGavin 2001; Triplehorn & Johnson, 2005). Molting dapat terjadi sampai tiga atau empat kali, bahkan pada beberapa serangga tertentu, molting dapat terjadi sampai lima puluh kali atau lebih selama hidupnya (McGavin, 2001).
Molting atau sebut saja “pergantian kulit” adalah suatu proses yang kompleks dan dikendalikan oleh hormon-hormon tertentu dalam tubuh serangga. Molting meliputi lapisan kutikula dinding tubuh, lapisan kutikula trakea, foregut, hindgut, dan struktur endoskeleton (McGavin 2001; Triplehorn & Johnson, 2005). Molting dapat terjadi sampai tiga atau empat kali, bahkan pada beberapa serangga tertentu, molting dapat terjadi sampai lima puluh kali atau lebih selama hidupnya (McGavin, 2001).
Serangga, termasuk arthropda lainnya
(kalajengking, udang, lobster, dan lain-lain), memiliki kerangka luar yang
disebut dengan eksoskeleton. Dalam pertumbuhannya, serangga akan tiba pada
titik dimana otot-otot tubuhnya tidak cukup kuat untuk mengangkat massa
eksoskeletonnya. Exoskeleton ini menutupi sekeliling tubuhnya, tetapi tidak
dapat tumbuh. Jadi, tubuh serangga mengalami pertumbuhan (penambahan volume dan
massa) tetapi eksoskeletonnya tetap pada konstruksinya atau tidak mengalami
pertumbuhan. Akibatnya, serangga harus melakukan molting beberapa kali selama
hidupnya agar tetap eksis dan “survive” atau bertahan hidup untuk meneruskan
generasinya, suatu bentuk adapatasi yang tidak hanya rumit tetapi juga sungguh
luar biasa dan mengagumkan.
Proses molting pada serangga,
setidaknya, melewati tiga tahap, yaitu apolysis, ecdysis, dan sklerotinisasi. Ketiga tahap tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut
- Apolysis yaitu Pelepasan kutikula lama. Pada tahap ini, hormon molting dilepaskan ke dalam haemolymph dan kutikula lama terpisah dari sel epidermis yang berada di bawahnya. Ukuran epidermis akan meningkat karena mitosis dan kemudian kutikula baru dihasilkan. Enzim yang disekresikan oleh sel epidermis mencerna endokutikula lama.
- Ecdysis yaitu Pembentukan kutikula baru. Tahap ini dimulai dengan pemisahan kutikula lama, biasanya dimulai pada garis tengah sisi dorsal thoraks. Pemisahan terjadi,terutama, karena tekanan haemolymph yang dipaksa masuk menuju thoraks oleh kontraksi otot abdomen yang disebabkan karena serangga menerima udara atau air. Setelah ini, serangga akan keluar dari kutikula lama.
3.
Sclerotinisasi
yaitu Pengerasan kutikula baru. Kutikula baru yang baru terbentuk, sangat
lembut dan pucat sehingga ini merupakan saat yang sangat rentan bagi serangga.
Dengan demikian, serangga harus melakukan pengerasan (hardening) terhadap
kutikula baru tersebut. Sklerotinisasi terjadi setelah satu atau dua jam,
dimana eksokutikula akan mengeras dan menjadi gelap. Pada serangga dewasa,
sayap akan berkembang karena kekuatan haemolymph yang masuk melalui vena sayap
(McGavin, 2001; Triplehorn & Johnson,2005).
Pertumbuhan dan perkembangan
serangga diselingi oleh periode molting yang diatur oleh steroid 20-hydroxyecdysone (20HE, hormon molting,
ecdysterone) dan JH sesquiterpenoid (Klowden, 2007). Pada tahap dewasa, kedua hormon ini juga
terlibat dalam pengaturan pematangan reproduksi (Dhadialla et al., 1997).
Yang mempengaruhi proses molting
serangga adalah “hormon”. Hormon adalah sinyal kimia (chemical signals)
atau pembawa pesan kimia (chemical messenger) yang dikirim dari
sel dalam bagian tubuh tertentu ke sel-sel dalam bagian tubuh lainnya pada
individu organisme yang sama.
Ketika serangga, pada
pertumbuhannya, tiba waktunya untuk mendapatkan eksoskeleton yang baru, input
sensorik dari tubuh serangga mengaktifkan sel-sel saraf (neurosecretory
cells) tertentu dalam otak. Sel saraf ini menanggapinya dengan
mengeluarkan hormon otak yang memicu corpora cardiaca untuk melepaskan prothoracicotropic
hormone (PTTH) ke dalam sistem peredaran darah. PTTH selanjutnya merangsang
kelenjar prothoracic (prothoracic glands) untuk mengeluarkan hormone
molting, yaitu ecdysteroids atau 20-hydroxyecdysone steroids (Meyer, 2005).
Dari sinilah proses molting mulai berlangsung, diawali dengan peningkatan titer
20HE dan diakhiri dengan penurunan titer 20HE dan pelepasan hormon eclosion
(Klowden, 2007).
Molting pada serangga diatur oleh
hormone molting, 20-hydroxyecdysone steroids (ecdysterone atau ecdysteroids,
selanjutnya disingkat dengan 20HE), JH-sesquiterpenoid, hormon eclosion, dan
hormon bursicon (Klowden, 2007).
Peningkatan titter 20HE
mengakibatkan epidermis terpisah dari kutikula lama (apolysis) sehingga
menciptakan ruangan antara kutikula dan epidermis (ruang eksuvial), selanjutnya
ruang exuvial diisi oleh cairan molting yang mengandung enzim inaktif,
chitinolytic (chitinase dan protease), yang mampu mencerna kutikula lama begitu
teraktivasi (Klowden, 2007). Sementara itu, sel-sel epidermis terorganisir
kembali untuk sintesis sejumlah besar protein serta sekresi epikutikula dan
kutikula baru. Setelah titer 20HE mulai menurun, enzim dalam cairan molting
diaktifkan untuk memulai proses pencernaan prokutikula (endokutikula yang tidak
tersklerotisasi). Setelah proses ini selesai, cairan molting diserap kembali
dan pengerasan pra-ecdysial kutikula baru berlangsung (Reynolds, 1987).
Akhirnya, saat titer 20HE menurun ke tingkat basal, kutikula lama terlepas
(ecdysis) dengan diawali pelepasan crustacean cardioaktive peptide (CCAP),
hormon eclosion, dan ecdysis-triggering hormone, yang bersama-sama bekerja pada
sejumlah target didalam memastikan selesainya proses molting (Klowden, 2007).
Hormon Eclosion (EH) memulai pelepasan CCAP dari sel-sel ventral ganglion yang
menonaktifkan perilaku pre-ecdysis dan bersama-sama dengan EH mengaktifkan
perilaku ecdysis. CCAP bertanggung jawab sebagai motor pemicu dalam
menyelesaikan ecdysis. EH juga terlibat bersama hormone bursicon untuk
pengerasan kutikula (Klowden, 2007).
Hormone
yang berperan dalam proses metamorfosis
Pada Arthropoda dari kelompok
insekta menghasilkan tiga macam hormon yaitu: hormon otak, hormon ekdison, dan hormon
juvenil. Ketiga hormon tersebut berfungsi untuk mengatur proses
metamorfosis.
- Hormon otak disekresikan oleh bagian otak, dan pelepasannya dipengaruhi oleh faktor makanan, cahaya, atau suhu. Selain itu hormon otak berfungsi memicu sekresi hormon ekdison dan hormon juvenil.
- Hormon ekdison perfungsi pada pengaturan proses pergantian kulit (ekdisis).
- Hormon juvenil berperan menghambat proses metamorfosis.
Salah
satu hormone yang berperan pada proses metamorphosis serangga adalah juvenile,
beberapa fungsi juvenile dalam proses tersebut yaitu:
· JH dihasilkan oleh Corpora allata,
pasangan organ neurohemal lainnya, terletak tepat di belakang corpora cardiac
dalam system endokrin serangga.
- JH menghambat perkembangan karakteristik dewasa selama fase pradewasa dan mendorong kematangan seksual selama fase dewasa (Meyer, 2005; Klowden, 2007).
- JH dihasilkan selama instar larva atau nimfa, dimana pada molting larva→larva (serangga holometabola) JH menghambat perkembangan larva menuju pupa, pada molting nimfa→nimfa (serangga hemimetabola) dihasilkan untuk menghambat gen-gen yang mempromosikan perkembangan karakteristik dewasa, misalnya, sayap, organ reproduksi, dan alat kelamin eksternal, sehingga menyebabkan serangga untuk tetap "immature" (dalam nimfa atau larva).
- Saat menjelang dewasa (nimfa) dan menjelang pupasi (larva) JH semakin menurun dan menjadi tidak ada atau tidak aktif saat nimfa menjadi dewasa dan larva menjadi pupa.
- JH akan diaktifkan atau dihasilkan kembali saat serangga memasuki kematangan seksual atau siap untuk reproduksi.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa dalam molting, JH berperan sebagai pengontrol perkembangan serangga dari
pradewasa (immature) menuju dewasa (adult) melalui pengaturan konsentrasinya
yang sesuai.
B. Regulasi Endokrin Pada Molting Serangga
Proses molting diawali dengan peningkatan titer 20HE dan diakhiri dengan
penurunan titer 20HE dan pelepasan hormon eclosion (Klowden, 2007). Peningkatan titter 20HE mengakibatkan
epidermis terpisah dari kutikula lama (dikenal dengan apolysis) sehingga
menciptakan ruangan antara kutikula dan epidermis (ruang eksuvial), selanjutnya
ruang exuvial ruang diisi oleh cairan molting yang mengandung enzim inaktif,
chitinolytic (chitinase dan protease) yang mampu mencerna kutikula lama begitu
teraktivasi (Klowden, 2007). Sementara itu, sel-sel epidermis terorganisir
kembali untuk sintesis sejumlah besar protein serta sekresi epikutikula dan
kutikula baru. Setelah titer 20HE mulai menurun, enzim dalam cairan molting
diaktifkan untuk memulai proses pencernaan prokutikula (unsclerotized
endocuticle). Setelah proses ini selesai, cairan molting diresorpsi dan pengerasan
pra-ecdysial kutikula baru berlangsung (Reynolds, 1987). Akhir dari proses,
ketika titer 20HE menurun ke tingkat basal, kutikula lama terlepas (ecdysis)
yang diawali dengan pelepasan crustacean cardioaktive peptide (CCAP), hormon eclosion dan ecdysis-triggering hormone, yang bersama-sama bertindak atas
sejumlah target dalam memastikan selesainya proses molting (Hsu, 1991; Klowden,
2007). Hormon Eclosion (EH) menginisiasi pelepasan CCAP dari sel-sel ventral ganglion yang
menonaktifkan perilaku pre-ecdysis dan bersama-sama dengan EH mengaktifkan
perilaku ecdysis. CCAP bertanggung jawab sebagai motor pemicu dalam menyelesaikan
ecdysis. EH juga terlibat dalam bursicon untuk pengerasan kutikula (Klowden, 2007). Setelah proses
molting selesai, kegiatan makan dilanjutkan kembali dan deposisi endocuticular
terus berlanjut selama periode intermolt (Dhadialla et al., 1997).
Pertumbuhan dan perkembangan
serangga diatur oleh 20HE, JH, EH, dan neurohormonnya lainnya
(Klowden, 2007). Perubahan morfologi dan ultra-struktural yang terjadi pada
epidermis selama pertumbuhan dan perkembangan serangga tergantung pada
pengaturan ekspresi gen dengan titer yang berbeda dari 20HE dengan ada atau
tanpa JH (Riddiford, 1996). Setiap gangguan dalam homeostasis dari satu atau
lebih hormon ini dengan sumber eksogen dari hormon atau dengan analog sintetis
(agonis atau antagonis) akan mengakibatkan gangguan atau pertumbuhan dan
pengembangan yang abnormal pada serangga sasaran. Demikian pula, setiap
gangguan pada hormon-hormon yang terlibat dalam sintesis dan/atau resorpsi
kutikula akan merugikan kelangsungan hidup pada tahap perkembangan yang
terpengaruh (Dhadialla et al., 1997)
Kesimpulan
- Serangga melakukan molting atau pergantian kulit karena penambahan ukuran atau volume tubuhnya tidak diikuti dengan pembesaran kutikula atau eksoskeleton yang menutupi tubuhnya.
- Molting dikendalikan oleh hormon-hormon tertentu dalam tubuh serangga, dan proses ini meliputi penggantian lapisan kutikula dinding tubuh, lapisan kutikula trakea, foregut, hindgut, dan struktur endoskeleton.
- Perubahan morfologi dan ultra-struktural yang terjadi pada epidermis selama pertumbuhan dan perkembangan serangga tergantung pada pengaturan ekspresi gen dengan titer yang berbeda dari 20HE dengan ada atau tanpa JH. Setiap gangguan dalam homeostasis terhadap produksi hormon-hormon ini akan mengakibatkan pertumbuhan atau perkembangan yang abnormal pada serangga sasaran. Demikian pula, setiap gangguan pada hormon-hormon yang terlibat dalam sintesis dan/atau resorpsi kutikula akan merugikan kelangsungan hidup pada tahap perkembangan yang terpengaruh.
REFERENSI:
- Dhadiallla TS, Carlson GR, Le DP. 1997. New insecticides with Ecdysteroidal and Juvenile Hormone Actifity. Annu. Rev. Entomol. 1998. 43:545-69.
- Klowden MJ. 2007. Physiological Systems in Insects. Second Edition. Academic Press, Elsevier. Burlington, 01803, USA. 688p.
- Nijhout HF. 1994. Insect Hormones. Princeton, NJ: Princeton Univ. Press. 267 pp.
- Reynolds SE. 1987. The cuticle, growth and moulting in insects: the essential background to the action of acylurea in¬secticides. Pestic. Sci. 20:131–46.
- Riddiford LM. 1994. Cellular and molec¬ular actions of juvenile hormone I. Gen¬eral considerations and premetamorphic actions. Adv. Insect Physiol. 24:213–74.
- Riddiford LM. 1996. Molecular aspects ofjuvenile hormone action in insect meta¬morphosis. In Metamorphosis, ed. LI Gilbert, pp. 223–51. London: Academic